Halaman

Jumat, 22 Juni 2012

Taman Wisata Alam Laut Pulau Marsegu


oleh Yusteisya.M.Papilaya

PENDAHULUAN

Kawasan Taman Wisata Alam adalah kawasan pelestarian alam yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam. Kawasan taman wisata alam dikelola oleh pemerintah dan dikelola dengan upaya pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya. Perlindungan dan pengamanan hutan merupakan salah satu upaya dalam pengawetan kawasan Taman Wisata Alam. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya kegiatan yang dapat mengakibatkan fungsi kawasan taman wisata alam, seperti berburu, menebang, kegiatan yang dapat menimbulkan pencemaran kawasan dan lain sebagainya.
Ekosistem perairan di Kawasan Taman Wisata Alam Laut Pulau Marsegu dan sekitarnya (TWA) memiliki beberapa potensi, yang perlu dikelola dengan baik. Pembentukan kawasan konservasi dimaksudkan untuk pengelolaan sumberdaya hayati, yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan ketersediaan sumberdaya tersebut. Kawasan Taman Wisata Alam Laut Pulau Marsegu dan sekitarnya (TWA) mengandung nilai konservasi yang tinggi. Hal ini mengacu pada data potensi terumbu karang, mangrove, lamun, rumput laut dan biota lain, seperti Lumba-lumba (mamalia laut) dan Penyu dari jenis Erelmochelys imbricata (Penyu Sisik) dan Chelonia mydas (Penyu Hijau). Beberapa biota laut yang unik, yang ditemukan juga di kawasan ini antara lain: Kelinci Laut (Nudibranch), Tunikata (Acidian) dan sejumlah besar Akar Bahar Kipas (Gorgonian).
















Pembahasan

WISATA ALAM PULAU MARSEGU
Kabupaten Seram Bagian Barat
Provinsi Maluku

Wiasata Alam di Pulau Marsegu memiliki keunikan tersendiri. Pulau Marsegu terletak di bagian barat Pulau Seram (Nusa Ina / Pulau Ibu) yang terkenal memiliki Taman Nasional Manusela. Secara Administratif pulau Marsegu termasuk dalam Kabupaten Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku. 
Wisata Alam 
pulau marsegu



Pulau Marsegu
Pulau ini diberikan nama oleh masyarakat sebagai “Pulau Marsegu” karena mempunyai satwa Kelelawar dalam jumlah besar.  Kata Marsegu berasal dari bahasa daerah yang berarti Kelelawar. Dalam pikiran pasti terlintas seperti tokoh menyeramkan yaitu “Drakula” penghisap darah, manusia yang menjelma menjadi kelelawar.  Tapi  pulau ini tidak menyeramkan bahkan berbagai keindahan dapat ditemui disana, sebagai tempat rekreasi dan tempat mengembangkan ilmu pengetahuan tidak perlu diragukan lagi
                 Pteropus vampirus                                   Birgus latro 

Kelelawar (Pteropus vampirus)
Kepiting Kenari (Birgus latro)



A.      Pulau Marsegu
Pulau Marsegu terletak di bagian barat Pulau Seram (Nusa Ina / Pulau Ibu), secara administratif pulau Marsegu termasuk dalam Kabupaten Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku. Pulau ini diberikan nama oleh masyarakat sebagai “Pulau Marsegu” karena mempunyai satwa Kelelawar dalam jumlah besar.  Kata Marsegu berasal dari bahasa daerah yang berarti Kelelawar Pulau Marsegu memiliki luas daratan sekitar 240,2 ha. Sedangkan Kawasan Taman Wisata Alam Laut Pulau Marsegu memiliki luas sekitar 11.000 Ha dan ditetapkan sebagai Taman Wisata Laut Pada tanggal 5 Maret 1999 dengan SK Menhutbun No. 114/Kpts-II/1999.
Pulau Marsegu dapat dikatakan sebuah pulau karang, karena sebagian dari pulau ini merupakan daerah berkarang. Di sebelah selatan pulau ini terdapat vegetasi hutan mangrove sedangkan sebelah utara merupakan daerah hutan yang tumbuh di atas karang. Sebelah barat laut merupakan daerah dinding karang yang berbatasan dengan pantai dengan ketinggian antara 8–10 meter. Sedangkan arah timur laut terdapat vegetasi hutan pantai yang mempunyai pantai pasir putih sepanjang 1720 meter. Di bagian utara pantai pasir putih terdapat zone Ipomea pescaprae yang didominasi oleh Ipomea pescaprae dan Spinifex littoreus (rumput angin). Lokasi ini merupakan tempat wisata yang menarik untuk menikmati pemandangan laut dan menghirup udara pantai yang segar.
Seluruh Daratan Pulau Marsegu masih dipengaruhi suasana hembusan angin laut karena titik terjauh dari garis pantai hanya berjarak 500 m. Pulau ini dikelilingi oleh terumbu karang yang beranekawarna dan kaya akan potensi sumberdaya alam laut. Tipe pasang surut daerah Pulau Marsegu merupakan semi diurnal (pasang semi harian) dimana terjadi dua kali air pasang dan dua kali air surut dalam satu hari. Salah satu faktor yang menyebabkan terbentuknya komunitas hutan mangrove Pulau Marsegu adalah gelombang air yang minimal karena dikelilingi oleh terumbu karang. Daerah yang berdekatan dengan terumbu karang dan sepanjang pantai berkarang, benih mangrove hanya dapat menyangkut dalam celah atau sisi pantai, mungkin hanya ada satu zone dari Rhizophora. (Van stennis dalam Monk et al. 1997).


















POTENSI DAN PENGEMBANGAN KAWASAN WISATA ALAM LAUT (TWA) PULAU MARSEGU DAN SEKITARNYA.

Di Propinsi Maluku, Hutan Konservasi yang telah ditunjuk dan ditetapkan adalah sejumlah 12 unit Cagar Alam (satu diantaranya adalah Cagar Alam Laut), 3 unit Suaka Margasatwa, 1 Unit Taman Nasional dan 5 unit Taman Wisata (tiga diantaranya adalah Taman Wisata Laut). Kawasan Taman Wisata Alam Laut Pulau Marsegu dan sekitarnya Kabupaten Seram Barat dengan luas sekitar 11.000 Ha ditetapkan sebagai Taman Wisata Laut Pada tanggal 05 - 03 – 1999 dengan SK Menhutbun No. 114/Kpts-II/1999.
Taman wisata alam adalah kawasan pelestarian alam yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam. Sedangkan Pulau Marsegu dengan luas 240,20 ha telah ditetapkan menjadi Kawasan Hutan Lindung sesuai Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 10327/Kpts-II/2002, tanggal 30 Desember 2002. Ekosistem perairan di Kawasan Taman Wisata Alam Laut Pulau Marsegu dan sekitarnya (TWA) memiliki beberapa potensi, yang perlu dikelola dengan baik. Pembentukan kawasan konservasi dimaksudkan untuk pengelolaan sumberdaya hayati, yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan ketersediaan sumberdaya tersebut. Kawasan Taman Wisata Alam Laut Pulau Marsegu dan sekitarnya (TWA) mengandung nilai konservasi yang tinggi. Hal ini mengacu pada data potensi terumbu karang, mangrove, lamun, rumput laut dan biota lain, seperti Lumba-lumba (mamalia laut) dan Penyu dari jenis Erelmochelys imbricata (Penyu Sisik) dan Chelonia mydas (Penyu Hijau). Beberapa biota laut yang unik, yang ditemukan juga di kawasan ini antara lain: Kelinci Laut (Nudibranch), Tunikata (Acidian) dan sejumlah besar Akar Bahar Kipas (Gorgonian). Oleh karena itu penataan kawasan di TWA sangat penting dan mendasar dalam rangka memelihara dan melestarikan keunikan dan kekayaan ekosistem yang ada.

Terumbu Karang Taman Wisata Alam Laut Pulau Marsegu dan sekitarnya

Fungsi yang sangat mendasar Taman Wisata Alam Laut Pulau Marsegu dan sekitarnya yaitu:
1.      Sebagai wahana konservasi sumberdaya hayati pesisir dan lautan, dalam rangka upaya   perlindungan kawasan dan pelestarian sumberdaya yang ada
2.      Sebagai wahana penelitian (research) dan pemantauan (monitoring) sumberdaya hayati, meliputi sarana dan prasaraana penelitian dan penyebarluasan informasi
3.      Sebagai wahana partisipasi masyarakat dari segala lapisan, baik lokal maupun non-lokal dalam rangka pendidikan dan pembinaan yang berwawaasan linkungan, sehingga pembudayaan sadar dan cinta lingkungan dapat dicapai
4.      Sebagai wahana pemanfaatan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang meliputi kegiatan wisata alam dan usaha perikanan yang bersahabat dengan lingkungan.

Potensi sumberdaya alam yang dapat didayagunakan dalam kawasan TWA dan sekitarnya dapat dikelompokkan 2 katagori, yaitu kegiatan wisata dan non-wisata yang menunjang kegiatan wisata. Pendayagunaan potensi sumberdaya alam melalui kegiatan wisata antara lain : snorkling, scuba diving, perahu kaca dan perahu wisata biasa, pancing wisata, ski air, kawasan pendaratan penyu, areal pasir putih, areal kamping (camping ground), komplek persitirahat (bungalow) dengan latar belakang panorama laut. Sedangkan kegiatan non wisata, antara lain: Budidaya rumput laut, Budidaya/pembesaran ikan jaring apung, Penangkaran dan peneloran penyu, Perikanan tradisional di sekitar kawasan, Pendidikan dan Penelitian. Kegiatan-kegiatan tersebut ditata sedemikian rupa sehingga setiap kegiatan memiliki daerah tetrtentu, dengan mengacu pada zonasi yang telah ditetapkan sebelumnya. Potensi sumberdaya alam yang dapat dikembangkan dan dimanfaatkan dapat dikelompokkan menjadi 2 kategori, yaitu:
v  Kegiatan wisata,
v  Kegiatan non-wisata yang menunjang kegiatan wisata

  Setengah dari Pulau ini merupakan daerah hutan mangrove dengan jenis-jenis mangrove, seperti Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata, Brugueira gymnorrhiza, Brugueira sexangula, Ceriops tagal, Xylocarpus mollucensis, Xylocarpus granatum, Heritiera littoralis, Lumnitzera littorea, Aegiceras corniculatum, Excoecaria agallocha, Pemphis acidula dan Scyphiphora hydrophyllacea.
mangrove
Rhizophora mucronata

Zone terluar dari daerah mangrove adalah Rhizophora mucronata kemudian bercampur dengan Rhizophora apiculata dan dibagian tengah adalah Brugueira gymnorrhiza, Brugueira sexangula, Ceriops tagal, Xylocarpus mollucensis dan Xylocarpus granatum.
mangrove
Zone Brugueira sp dan Ceriops sp
Di bagian timur dari Pulau Marsegu terdapat vegetasi hutan pantai yang mempunyai pantai pasir putih sepanjang 1600 meter. Jenis vegetasi yang terdapat pada zone ini adalah Cordia subcordata, Pongamia pinnata, Terminalia catappa dan Baringtonia asiatica.  Di bagian utara pantai pasir putih terdapat zone Ipomea pescaprae yang didominasi oleh rumput angin (Spinifex littoreus) dan Katang-katang (Ipomea pescaprae). Lokasi ini merupakan tempat wisata yang menarik untuk menikmati pemandangan laut serta menghirup udara pantai yang segar.
pasir putih wisata 
alam
Pantai Pasir Putih

rumput Spinifex 
littoreus wisata alam
Spinifex littoreus
Untuk yang mau berkemah atau tinggal beberapa hari di pulau ini, tersedia 2 (dua) buah sumur sebagai sumber air tawar yang biasanya juga dipergunakan oleh masyarakat sekitar untuk air minum, mandi dan cuci.
SUMUR
S u m u r
Aksesibilitas ke Pulau Marsegu dari kota Ambon sebagai Ibu Kota provinsi dapat ditempuh melalui rute:
+ Ambon – Hunimua. (Jalur darat)
+ Hunimua – Waipirit (Pulau Seram) menggunakan Ferry (1,5 jam)
+ Waipirit – Piru – Pelita Jaya. (Jalur darat ± 56 km)
+ Pelita Jaya – Pulau Marsegu. (Jalur laut  ± 5 km )  





pulau marsegu 
wisata alam


PENGEMBANGAN WISATA
Snorklingo, scuba diving dan perahu kaca merupakan kegiatan yang menikmati pemandangan di bawah air. Pemandangan yang menarik itu meliputi hamparan terumbu karang, padang lamun dan rumput laut, ikan hias dan ikan karang, dan berbagai biota laut lain yang menghuni di bawah dan di dasar laut antara lain kelompok moluska (kerang-kerangan dan siput), coelenterata (ubur-ubur), ekhinodermata (bintang laut, bulu babi, teripang, lili laut dan "sand dollar"), mamalia air, reptilia (penyu). Aktivitas snorkling dapat dilakukan pada perairan yang relatif dangkal sehingga pemandangan bawah air masih dapat dinikmati dengan jelas. Sedangkan untuk perairan yang lebih dalam dapat dilakukan aktivitas scuba diving yang menggunakan alat selam lengkap seperti masker, snorkel, regulator, tabung udara, BCD (Buoyancy Compensator Device), sepatu koral, fin (‘kaki katak”) dan baju selam (jika perlu). Aktivitas snorkling dan scuba diving hendaknya dapat dilakukan pada daerah tertentu (daerah yang sama atau terpisah) yang dapat dikatagorikan indah dan aman bagi pengunjung. Selain itu penjelasan dan pengawasan terhadap pengunjung dilakukan secara efektif sehingga kerusakan terhadap komunitas biota dan ekosistem kawasan dapat dicegah semaksimal mungkin. Kegiatam snorkling dapat dilakukan di sekitar pinggiran Teluk Kotania dan beberapa pulau kecil lainnya seperti Pulau Osi, sepanjang hamparan datar (flat) hingga tubir. Sedangkan kegiatan scuba diving di perairan yang lebih dalam, yaitu mulai dari daerah tubir ke arah laut. Pemandangan bawah laut juga dapat dinikmati tanpa harus berenang, yaitu dengan menggunakan perahu kaca. Pengunjung dapat melihat dan menikmati pemandangan bawah air melalui kaca yang dipasang persis di bawah perahu. Lokasi aktivitas perahu kaca dipisahkan dengan lokasi aktivitas snorkling dan scuba diving, sehingga tidak saling mengganggu. Perahu kaca ini dapat memperkecil resiko kerusakan terumbu karang dan biota lainnya, karena tidak menyentuh dasar perairan sepanjang perahu tidak membuang sauh (jangkar) atau menabrak daerah terumbu karang yang dangkal. Lokasi yang baik adalah sepanjang batas tubir yang mempunyai kedalaman yang relatif dangkal sehingga pemandangan bawah laut masih jelas.
Berperahu di Kawasan Wisata Alam Laut  Pulau Marsegu dan Sekitarnya
Aktivitas pancing wisata merupakan kegiatan memancing non profit yang menikmati suasana wisata. Kegiatan ini bukan merupakan kegiatan eksploitasi tetapi merupakan pemancingan terbatas pada daerah tertentu dimana populasi dan keanekaragaman ikannya masih cukup tinggi. Daerah yang direkomendasikan untuk kegiatan ini adalah di sebelah selatan pulau. Pemantauan dari kegiatan ini hendaknya dapat dilakukan dengan baik dalam usaha mencegah penurunan populasi ikan yang tinggi dan kemusnahan jenis. Pemantauan dapat dilakukan melalui pencacahan jumlah dan jenis ikan yang tertangkap, serta evaluasi komunitas ikan di alam.

Rabu, 21 Maret 2012

SK PELANTIKAN ANGGOTA SYLVA TAHUN 2012 UNPATTI


LOGO-SILVA-OKESYLVA INDONESIA
PENGURUS CABANG
UNIVERSITAS PATTIMURA
Sekertariat, Jl. Ir. M. Pututhena, kampus Faperta-UNPATTI. Poka – Ambon
email: www.sylvaunpatti.@gmail.com


 

SURAT KEPUTUSAN
NOMOR: 003/SK/PC-SI/UNPATTI/IX/2012

TENTANG
PELANTIKAN  ANGGOTA SYLVA BARU
SYLVA INDONESIA CABANG UNIVERSITAS PATTIMURA
TAHUN 2012


Pengurus Cabang Sylva Indonesia Pattimura,

Menimbang              :    a.  Bahwa untuk keberlangsungan roda organisasi maka harus di  lantik rimbawan dan rimbawati guna tongkat estafet Sylva tetap ada. 
                                    b.  Bahwa untuk membantu Pengurus Cabang Sylva Indonesia Universitas Pattimura dalam melaksanakan program kerja yang telah di tetapkan dalam rapat kerja sylva Indonesia cabang universitas pattimura periode 2011-2012.
Mengingat               :    1.  Anggaran Dasar Sylva Indonesia Bab VII Pasal 14 tentang Kelengkapan Organisasi.
                                    2.  Anggaran Dasar Sylva Indonesia Bab VIII jo. Anggaran Rumah Tangga Bab I tentag Keanggotaan;
                               3.  Anggaran Rumah Tangga Sylva Indonesia Bab V tentang Pengurus Cabang.
Memperhatikan :      Hasil Rapat Pengurus Cabang Silva Indonesia Universitas Pattimura tertanggal 28 September 2011










MEMUTUSKAN:
Menetapkan             : Mengesahkan dan melantik anggota Sylva BARU Cabang Universitas Pattimura Tahun 2012 dengan susunan dan personalia sebagaimana terlampir dan merupakan bagian tak terpisahkan dari Surat Keputusan ini;
                                                                                                           
                                                                                                            Ditetapkan di : Ambon
                                                                                                            Pada tanggal : Maret 2012

PENGURUS CABANG SYLVA INDONESIA
UNIVERSITAS PATTIMURA


                       
       
        Tony Mayabubun                                                                Mocthar Tanassy      
                 Ketua                                                                          Sekretaris


Tembusan;
1.       Ketua Jurusan Kehutanan;
2.       Ketua Dewan Pembina Sylva;
3.       Pengurus Cabang Sylva Indonesia Unpatti;
4.       Yang bersangkutan;
5.       Arsip.





















Lampiran :
                                                        
PERSONALIA ANGGOTA SYLVA BARU
UNIVERSITAS PATTIMURA TAHUN 2012



1.      Aleksadri Batmomolin
2.      Anas M. Wakano
3.      Andre N. Pohwain
4.      Apolinaris Tharob
5.      Baltasar Emphy Aryesam
6.      Benesia A.C. Hitipeuw
7.      Brampi A. Masela
8.      Deby Natalya Wattimena
9.      Denise Angel Ch. Talakua
10.  Dewi Fakaubun
11.  Donald R. Abrahams
12.  Efod R.T. Lamerkabel
13.  Esterlina Refialy
14.  Ever J. Davidz
15.  Fadila Mewar
16.  Fanto Tunyanan
17.  Feberien J. Saiya
18.  Firman Suowakil
19.  Gabriel  Okatavian Uneputty
20.  Glen.m. Komoly
21.  Ikbal Muh.Rahaningmas
22.  Ingka .K.Teslatu
23.  Ismail Welitela
24.  James Manusama
25.  Jimmy Marayate
26.  Johanis Lahallo
27.  Juliet. Ch. Koedoeboen
28.  Julita Maudara
29.  Josef .L.Leuwol
30.  Karlos.H.Juley
31.  La Ode Hasanudin
32.  Lepinus Tahapary
33.  Marieta .Y.Rerebain
34.  Marsel Dias
35.  Meike Wusono
36.  Melda Johansz
37.  Mendy Solissa
38.  Merel Tuasela
39.  Merlin Jolanda Hetharia
40.  Muna Rumbouw
41.  Nelson.M.Latue
42.  Nova.Y.Seleky
43.  Nurfadila Mewar
44.  Pricilia Theresia Siahaya
45.  Rahmat Ely
46.  Rahmat Satria.A.Notanubun
47.  Ramli Mahu
48.  Risham Maulana Bahaweres
49.  Rony Talutu
50.  Santo Uren
51.  Sari Ajil Kotala
52.  Silvi Grandis Notanubun
53.  Shelma Dewi Sikdewa
54.  Sopiah
55.  Stevi.J.Z.Wailola
56.  Sutra Suwakul
57.  Syaneth.S.Molle
58.  Taufik Walli
59.  Thimoty.J.Haumahu
60.  Vensca.L.Tulaseket
61.  Yani Bakarbessy
62.  Yefta Ever Ratuiwaly
63.  Yohanis Watutamata
64.  Yuniyanti Matitale
65.  Zulfirman Rahanyantel
66.  Zulkifli Nanuayo
67.  Vally Lilipory









Sylva Indonesia
Pengurus Cabang Universitas Pattimura






                               Tony Mayabubun                                                                  Mocthar Tanassy      
                                      Ketua                                                                                  Sekretaris








                               



Senin, 26 Desember 2011

DAS


 Daerah Aliran Sungai
oleh
Munawir Rumbouw & Tony Mayabubun
A. Daerah Aliran Sungai

Pada daerah aliran sungai terdapal berbagai macam penggunaan lahan, misalnya hutan lahan pertanian, pedesaan dan jalan. Dengan demikian DAS mempunyai berbagai fungsi sehingga perlu dikelola. Pengelolaan DAS merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat, petani dan pemerintah untuk memperbaiki keadaan lahan dan ketersediaan air secara terintegrasi di dalam suatu DAS. Dari namanya. DAS menggambarkan bahwa sungai atau air merupakan faktor yang sangat penting dalam pengelolaan DAS karena air menunjang kehidupan berbagai makhluk hidup di dalamnya. Masalah pada daerah aliran sungai (DAS) yang utama berhubungan dengan jumlah (kuantitas) dan mutu (kualitas) air. Air sungai menjadi berkurang (kekeringan) atau menjadi terlalu banyak (banjir) menggambarkan jumlah air. Daerah aliran sungai adalah daerah yang dibatasi punggung-punggung gunung sehingga air hujan yang jatuh pada daerah tersebut akan ditampung dan dialirkan melalui sungai-sungai kecil ke sungai utama (Asdak, 2001).
Daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kawasan dengan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah pengairan yang masih terpengaruh aktifitas daratan (UU No.7/2004 Pasal 1). Dalam pendefinisian DAS pemahaman akan konsep daur hidrologi sangat diperlukan terutama untuk melihat .
 
masukan berupa curah hujan yang selanjutnya didistribusikan melalui beberapa cara seperti diperlihatkan pada Gambar 1. Konsep daur hidrologi DAS menjelaskan bahwa air hujan langsung sampai ke permukaan tanah untuk kemudian terbagi menjadi air larian, evaporasi dan air infiltrasi yang kemudian akan mengalir ke sungai sebagai debit aliran.
Dalam mempelajari ekosistem DAS, dapat diklasifikasikan menjadi daerah hulu. tengah dan hilir. DAS bagian hulu dicirikan sebagai daerah konservasi, DAS bagian hilir merupakan daerah pemanfaatan. DAS bagian hulu mempunyai arti penting terutama dari segi perlindungan fungsi tata air, karena itu setiap terjadinya kegiatan di daerah hulu akan menimbulkan dampak di daerah hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit dan transpor sedimen serta material terlarut dalam sistem aliran airnya. Dengan perkataan lain ekosistem DAS, bagian hulu mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan DAS. Perlindungan ini antara lain dari segi fungsi tatar air, dan oleh karenanya pengelolaan DAS hulu seringkali menjadi fokus perhatian mengingat dalam suatu DAS, bagian hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi
Universitas Sumatera Utara
Menurut asdak (2001), dari segi fisik indikator untuk mengetahui normal tidaknya suatu DAS dapat dilihat dari beberapa hal, dimana suatu DAS dikategorikan dalam kondisi baik apabila memiliki ciri sebebagai berikut :

a. Koefisiensi air larikan yang menunjukkan perbandingan antara besarnya air larikan terhadap besarnya curah hujan, berfluktuasi secara normal, dalam artian nilai C dari sungai utama di DAS yang bersangkutan cenderung kurang lebih sama dari tahun ke tahun.

b. Nisbah debit maksimum (Q max/Q min) relatif stabil dari tahun ke tahun.

c. Tidak banyak terjadi perubahan koefisien arah pada kurva kadar lumpur (Cs) terhadap debit sungai (Q).


Definisi DAS Berdasarkan Fungsi
Dalam rangka memberikan gambaran keterkaitan secara menyeluruh dalam pengolahan DAS, terlebih dahulu diperlukan batasan-batasan mengenai DAS berdasarkan fungsi, yaitu pertama DAS bagian hulu didasarkan pada fungsi konservasi yang dikelola untuk mempertahankan kondisi lingkungan DAS agar tidak terdegradasi. Yang antara lain dapat diindikasikan dari kondisi tutupan.
vegetasi lahan DAS, kualitas air. kemampuan menyimpan air (debit), dan curah hujan. Kedua DAS bagian tengah didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola umum dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi. yang antara lain dapat diindikasikan dari kuantitas air, kualitas air, kemampuan menyalurkan air, dan ketinggian muka air tanah, serta terkait pada prasarana pengairan seperti pengelolaan sungai waduk dan danau. ketiga DAS bagian hilir didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi. yang diindikasikan melalui kuantitas dan kualitas air, kemampuan menyalurkan air, ketinggian curah hujan. dan terkait untuk kebutuhan pertanian, air bersih, serta pengelolaan air limbah (Asdak, 2001) 

B. Sedimen, Hasil Sedimen dan Larutan Sedimen
Sedimen adalah hasil proses erosi, baik berupa erosi permukaan, erosi parit atau jenis tanah lainnya. Sedimen umumnya mengendap di bagian bawah kaki bukit, di daerah genangan banjir, disaluran air sungai dan waduk (Asdak, 2001). 
Hasil sedimen (sediment yield) adalah besarnya sedimen yang berasal dari erosi yang terjadi di daerah tangkapan air yang diukur pada priode watu dan tempat tertentu. Hasil sedimen biasanya diperoleh dari pengukuran sedimen terlarut dalam sungai (suspended sediment) atau dengan pengukuran langsung di dalam waduk. Hasil sedimen tergantung pada besarnya erosi total di DAS/sub DAS dan tergantung pada transpor partikel-partikel tanah yang tererosi tersebut keluar dari daerah tangkapan air DAS/sub DAS. Produksi sedimen umumnya mengacu kepada besarnya laju sedimen yang mengalir melewati satu titik pengamatan tertentu dalam satu sistem DAS. Tidak semua tanah yang tererosi di permukaan daerah tangkapan air akan sampai ke titik pengamatan. Sebagian tanah tererosi tersebut akan terdeposisi di cekungan-cekungan permukaan tanah, di kaki-kaki lereng dan bentuk-bentuk penampungan sedimen lainnya (Asdak, 2001). Begitu sedimen memasuki badan sungai, maka berlangsunglah transpor sedimen. Kecepatan transpor sedimen merupakan fungsi dari kecepatan aliran sungai dan ukuran partikel sedimen. Besarnya ukuran sedimen yang terangkut aliran air ditentukan oleh interaksi faktor-faktor sebagai berikut : ukuran sedimen yang masuk ke badan sungai/saluran air, karakteristik saluran, debit dan karakteristik fisik partikel sedimen. Besarnya sedimen yang masuk sungai dan besarnya debit ditentukan oleh faktor iklim, topografi, geologi, vegetasi dan cara bercocok tanam di daerah tangkapan air yang merupakan asal datangnya sedimen. Transpor sedimen di sungai-sungai tergantung dari banyak variabel yang saling berhubungan. Tidak ada satu persamaan yang bisa diaplikasikan untuk semua kondisi. Einstein (1964 dalam Kodoatie, 2005) telah menyatakan bahwa dua
kondisi harus dipenuhi oleh setiap partikel sedimen yang melalui penampang melintang tertentu dari suatu sungai yakni:

1. Partikel tersebut merupakan hasil erosi di daerah pengaliran di potongan melintang itu

2. Partikel tersebut terbawa oleh aliran dari tempat erosi terjadi menuju penampang melintang itu.

Larutan sedimen merupakan salah satu karakteristik fisik perairan (alamiah) yang dianggap penting. Larutan sedimen yang sebagian besar terdiri atas larutan Lumpur dan beberapa bentuk koloida-koloida dari berbagai material inilah yang seringkali mempengaruhi kualitas air dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya air untuk kehidupan manusia dan bagi kehidupan organisme akuatik lainnya. Beberapa hasil penelitian yang berkaitan dengan sedimen pada suatu DAS menunjukkan bahwa hasil sediment pada DAS Alo-Pohu Gorontalo secara signifikan dipengaruhi oleh debit aliran, luas DAS, persentase tanah terbuka dan kerapatan drainase. Besarnya hasil sediment adalah 38,68 ton/ha/tahun. Nisbah pelepasan sediment di DAS Alo-Pohu secara signifikan dipengaruhi debit aliran (Lihawa, 2007).

C. Debit Aliran

Debit aliran adalah laju aliran air (dalam bentuk volume air) yang melewati suatu penampang melintang sungai per satuan waktu. Dalam sistemn satuan SI besarnya debit dinyatakan dalam satu meter kubik per detik (m3/detik). Cara pengukuran debit aliran akan dibedakan menjadi dua, yaitu pengukuran debit untuk sungai-sungai yang berukuran kecil hingga sedang dan untuk sungai-sungai
besar yang dijumpai di pulau-pulau Jawa. Pengukuran debit aliran yang paling sederhana dapat dilakukan dengan metode apung (floating method). Caranya dengan menempatkan benda yang tidak dapat tenggelam di permukaan aliran sungai untuk jarak tertentu dan mencatat waktu yang diperlukan oleh benda apung tersebut bergerak dari satu titik ke titik pengamatan lain yang telah ditentukan. Benda apung yang dapat digunakan aliran sungai. Pemilihan tempat pengukuran sebaiknya pada bagian sungai yang relative lurus ditentukan sekurang-kurangnya yang memberikan waktu perjalanan 20 detik. Pengukuran dilakukan beberapa kali sehingga dapat diperoleh angka kecepatan aliran rata-rata yang memadai. Besarnya kecepatan aliran sungai (Vperm dalam m/dtk) adalah : V perm = L/T (persamaan 1), dimana L = jarak antara dua titik pengamantan (m) dan t = waktu perjalanan benda apung (detik). Untuk kedalaman yang berbeda dihitung kecepatan aliran sungai terlebih dahulu pada kedalaman yang berbeda, selanjutnya dijumlahkan dan dibagi dua. Secara skematis penyebaran kecepatan vertical dapat dilihat pada Gambar 2 berikut :
V1 kedalaman 0,2
V2 kedalaman 0,6
V3 kedalaman 0,8 
 
Perhitungan Debit Aliran Sungai
Perhitungan debit aliran sungai total dengan memanfaatkan Gambar 2 di atas. Langkah-langkah adalah sebagai berikut :

1. Hitung kecepatan aliran sungai rata-rata pada setiap bagian pengukuran dengan cara menjumlahkan nilai pengamatan pada kedalaman 0,2 dan 0,8 kemudian dibagi dua.

2. Nilai yang diperoleh pada nomor 1 kemudian dikalikan dengan luas bagian penampang melintang yang besangkutan (ABCD). Luas (ABCD) diperoleh sebagai haisl perkalian kedalaman EF dan lebar permukaan sungai AB.

3. Jumlahkan nilai debit yang diperoleh dari masing-masing bagian penampang melintang yang ditetapkan.

(Asdak, 2001). 

D.Beberapa Hasil Penelitian terhadap Nilai Debit Sedimen Melayang 

Hasil penelitian pada empat outlet pada DAS Teluk Balikpapan menunjukkan bahwa debit sediment melayang pada keempat outlet sungai-sungai yang bermuara ke Teluk Balikpapan dari yang terbesar sampai dengan terkcil berturut-turut yaitu Sungai Semoi sekitar 26.050,752 g/detik = (2.250,785 ton/hari), Sungai Riko sekitar 4.526,886 g/detik (= 391,123 ton/hari), g/detik (= 6,763 ton/hari). Nilai debit sedimen melayang pada outlet sungai-sungai tersebut secara umum relatif besar. Hal ini menggambarkan bahwa kondisi biogeofisik sebagian besar diakibatkan oleh perluasan lahan terbuka untuk berbagain kegiatan dengan pola penggunana lahan yang kurang tepat atau tidak
sesuai dengan potensi daya dukungnya, bahkan ditambah lagi oleh kondisi fisik jenis tanahnya yang didominasi oleh jenis tanah acrisols dan Arenosols (Ultisols) yang bersifat sangat peka terhadap erosi, dominasi topografi yang bergelombang sampai berbukit, curah hujan tahunan yang relatif tinggi dan pola jaringan sungai sebagian besar berbentuk seperti percabangan pohon (dendritic pattern) yang bersifat cepat mengalirkan limpasan air sungai (Kelompok Kerja Erosi dan Sedimentasi, 2002).
Arahan Pengunaan Lahan
Arahan penggunan lahan sesuai dengan kemampuannya merupakan salah satu pola rehabilitas lahan dan konservasi tanah (RLKT) dan salah satu strategi konservasi tanah yang diterapkan oleh Departemen Kehutanan. Arahan penggunaan lahan ditetapkan berdasarkan kriteria dan tata cara penetapan hutan lindung dan hutan produksi adalah berkaitan dengan karakteristik fisik DAS seperti berikut ini.

1. Kemiringan lereng

2. Jenis tanah menurut kepekaanya terhadap erosi

3. Curah hujan harian rata-rata

Untuk karakteristik DAS yang terdiri dari kemiringan lereng, jenis tanah dan curah hujan harian rata-rata pada setiap satuan lahan perlu diklasifiksi dan diberi bobot (skor) seperti yang tertera pada Tabel 1 berikut. Penetapan pengunaan lahan setiap satuan lahan ke dalam suatu kawasan fungsional dilakukan dengan menjumlahkan skor ketiga faktor tersebut di atas dengan mempertimbangkan keadaan setempat. Dengan cara demikian dapat dihasilkan kawasan lindung, kawasan penyangga dan kawasan budidaya (Asdak, 2001). 
Tabel 1. Klasifikasi dan Bobot Kemiringan Lereng, Kepekaan Tanah terhadap Erosi dan Intensitas Hujan Harian Rata-rata
Karakteristik
Kelas
Skor
Kemiringan Lereng
1 : 0-8 % (datar)
2 : 8-15 % (landai)
3 : 15-25 (agak curam)
4 : 25-45 (curam)
5 : 45% (sangat curam)
20
40
60
80
100
Tingkat Kepekaan Tanah terhadap Erosi
1 : Aluvial, Planosol, Hidromorof kelabu, Laterik (tidak peka)
2 : Latosol (agak peka)
3 : Tanah hutan coklat, tnaah mediteran (sedang)
4 : Andosol, Laterik, Grumosol, Podsol, Podsolic (peka)
5 : Regosol, litosol, organosol, renzina (sangat peka)
15
30
45
60
75
Intensitas Hujan harian Rata-rata
1 : 13,6 mm/hari (sangat rendah)
2 : 13,6 – 20,7 mm/hari (rendah)
3 : 20,7 – 27,7 mm/hari (sedang)
4 : 27,7 – 34,8 mm/hari (tinggi)
5 : 34,8 mm/hari (sangat tinggi)
10
20
30
40
50





Total Tayangan Halaman