Halaman

Selasa, 20 Desember 2011

dampak pembangunan ( fisik )
oleh tony mayabubun

PENDAHULUAN

Hutan merupakan penyangga  Ekosistem,lingkungan serta berbagai elemen penting yang terdapat di dalamya. Sudah kita ketahui bersama bahwa masalah lingkungan timbul sebagai akibat dari ulah manusia itu sendiri . Manusia dalam memanfaatkan sumber daya alam akan menimbulkan perubahan terhadap ekosistem yang akan mempengaruhi kelestarian sumber daya alam itu sendiri. Pemanfaatan sumber daya alam yang melebihi ambang batas daya dukung lahan dan tanpa memperhatikan aspek kelestariannya akan mendorong terjadinya erosi dan longsor, seperti yang banyak terjadi sekarang ini. Akibat dari keadaan tersebut menyebabkan terjadinya degradasi lahan, pendangkalan sungai , dan terganggunya sistem hidrologi Daerah Aliran Sungai (DAS).
Kebakaran hutan yang sering terjadi akan membumihanguskan habitat satwa, mengurangi keragaman hayati dan menghilangkan kesuburan tanah, rusaknya siklus hidrologi serta akan menimbulkan pemanasan global. Banyaknya perladangan berpindah akan semakin meningkatkan ancaman kerusakan hutan , karena umumnya masyarakat tidak memperhatikan aturan – aturan yang benar untuk menjaga kelestarian hutan dalam melakukan aktivitasnya di ladang .
Menurut FAO  masalah lingkungan di negara-negara berkembang sebagian besar disebabkan karena eksploitasi lahan yang berlebihan , perluasan penanaman dan penggundulan hutan (Reyntjes, Coen et.al. 1999). Bersamaan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan industrialisasi, permasalahan penggunaan lahan sudah umum terjadi . Pemikiran secara intuitif dalam penggunaan lahan sudah sejak lama dilakukan , tetapi penggunaan secara lebihefisien dan dengan perencanaan baru terwujud jelas setelah perang dunia I
            Hutan adalah suatu kumpulan atau asosiasi pohon-pohon yang cukup rapat dan menutup areal yang cukup luas sehingga akan dapat membentuk iklim mikro  yang kondisi ekologis yang khas serta berbeda dengan areal luarnya; Spurr (1973),menganggap hutan sebagai persekutuan antara tumbuhan dan binatang dalam suatu asosiasi biotis.Asosiasi ini besama-sama dengan lingkungan membentuk suatu system ekologis dimana organisme dan lingkungan saling berpengaruh di dalam suatu siklus energy yang komples.pohon tidak dapat di pisahkan dari hutan, karena pohon adalah vegetasi utama penyusun hutan tersebut.
            Iklim,tanah dan air menentukan jenis tumbuhan dan hewan yang dapat hidup di dalam hutan tersebut. Berbagai kehidupan dan linggkungan tempat hidup,bersama-sama membentuk ekosistem hutan. suatu ekosistem terdiri dari semua yang hidup (biotik) dan tidak hidup (abiotik) pada daerah tertentu dan terjadi hubungan di dalamnya. Ekosistem hutan mempunyai hubungan yang sangat kompleks. Pohon dan tumbuhan hijau lainya menggunakan cahaya matahari untuk membuat makanannya, karbondioksida di ambil dari udara, ditambah dengan air dan unsur  hara atau mineral yang di serap di dalam tanah, Irwanto (2011). 

BAB II
PEMBAHASAN

Hutan merupakan suatu kumpulan tetumbuhan, terutama pepohonan atau tumbuhan berkayu lain, yang menempati daerah yang cukup luas. Keunggulan yang lebih penting bagi hutan dari sumberdaya alam lain adalah merupakan sumber daya alam yang dapat diperbaharui. Sumber-sumber hutan tidak akan kunjung habis dan kering , ia akan selalu ada asalkan diurus dan dijaga sebaik-baiknya. Pengelolaan sumber kehutanan modern berdasarkan sifat renewable dan potensi serba guna bagi kesejahteraan rakyat sepanjang masa . (Mubyarto, 1985)
Tekanan penduduk dan ekonomi yang semakin besar mengakibatkan pengambilan hasil hutan semakin intensif, gangguan terhadap hutan semakin besar sehingga fungsi hutan juga berubah, beberapa fungsi hutan dan manfaatnya bagi manusia dan kehidupan lainnya adalah :
a. Penghasil Kayu Bangunan
Di hutan tumbuh beraneka spesies pohon yang menghasilkan kayu dengan berbagai ukuran dan kualitas yang dapat digunakan untuk bahan bangunan dan mempunyai nilai ekonomi yang tinggi.
b. Sumber Hasil Hutan Non-Kayu
Tingkat biodiversitas hutan alami sangat tinggi dan memberikan banyak manfaat bagi manusia yang tinggal di sekeliling hutan. Selain kayu bangunan, hutan juga menghasilkan beraneka hasil yang dapat dimanfaatkan sebagai obat-obatan, sayuran dan keperluan rumah tangga lainnya.
c. Cadangan Karbon
Salah satu fungsi hutan yang penting adalah sebagai cadangan karbon di alam karena karbon disimpan dalam bentuk biomassa vegetasinya. Alih fungsi/guna lahan hutan mengakibatkan peningkatan emisi kabon dioksida di atmosfer yang berasal dari pembakaran dan peningkatan mineralisasi bahan organik tanah selama pembukaan lahan serta berkurangnya vegetasi sebagai sumber karbon.
d. Habitat Bagi Fauna
Hutan merupakan habitat penting bagi aneka flora dan fauna. Konversi hutan menjadi bentuk penggunaan lahan lainnya akan menurunkan populasi flora dan fauna yang sensitif sehingga tingkat keanekaragaman hayati berkurang.
e. Sumber Tambang dan Mineral Berharga Lainnya
Di bawah hutan sering terdapat barang mineral berharga yang merupakan bahan tambang yang bermanfaat bagi kebutuhan hidup.
f. Lahan
Hutan menempati ruang dalam bumi yang terdiri dari komponen tanah, hidrologi, udara atau atmosfer, iklim yang dinamakan lahan. Lahan sangat bermanfaat untuk kepentingan manusia dan bernilai ekonomi tinggi.
g. Hiburan
Hutan digunakan sebagai tempat perburuan dan tempat wisata yang merupakan sumber pendapatan daerah.
A.    Konservasi Tanah dan Air
Konservasi tanah merupakan cara penggunaan yang disesuaikan dengan kemampuan dan berupaya menghindari terjadi kerusakan tanah, agar tanah dapat berfungsi secara lestari (Arsjad, 2000).  Konservasi tanah berhubungan erat dengan konservasi air.   Setiap perlakuan pada sebidang tanah akan mempengaruhi tata air, dan usaha untuk mengkonservasi tanah juga merupakan konservasi air. Salah satu tujuan konservasi tanah adalah meminimumkan erosi pada suatu lahan.  Laju erosi yang masih lebih besar dari erosi yang dapat ditoleransikan bisa menjadi masalah yang bila tidak ditanggulangi akan menjebak petani kembali ke dalam siklus yang saling memiskinkan. Tindakan konservasi tanah  merupakan cara untuk melestarikan sumberdaya alam.
Ciri alam yang penting di daerah tropis seperti Indonesia adalah adanya intensitas penyinaran matahari dan curah hujan yang tinggi dan hampir merata sepanjang tahun.  Faktor geologi dan tanah dibentuk oleh kondisi tersebut dan menghasilkan suatu proses yang cepat dari pembentukan tanah baik dari pelapukan serasah maupun bahan induk.  Sebagai hasil dari proses tersebut, sebagian besar hara tanah tersimpan dalam biomassa vegetasi, dan hanya sedikit yang tersimpan dalam lapisan olah tanah.  Hal yang berbeda dengan kondisi di daerah iklim sedang dimana proses pertumbuhan vegetasi lambat dan sebagian besar hara tersimpan dalam lapisan olah tanah.  Oleh karena itu pengangkutan vegetasi ataupun sisa panen tanaman keluar lahan pertanian akan membuat tanah mengalami proses pemiskinan.
Jadi jelas, tanah di luar Jawa sebagian besar merupakan tanah lanjut yang miskin, dan sumber utama kesuburan tanah adalah bahan organik yang berasal dari pelapukan sisa-sisa tanaman hutan. Karena keterbatasan pengetahuan, tuntutan keuntungan bisnis, dan batasan waktu, dalam membuka lahan, biasanya persayaratan yang tertentu untuk usaha pertanian tidak dipahami. Sehingga untuk mempercepat pekerjaan, digunakanlah mesin-mesin besar dalam memotong pohon, mengangkutnya dan meratakan tanah. Hasilnya, dalam bentuk permukaan tanah menjadi rata, tetapi ditinjau dari kualitas tanah telah menjadi rusak, karena bahan organik tanah yang juga merupakan bahan semen agregat, telah teraduk dan hilang. Jika kemudian turun hujan, maka dengan mudah tanah dihancurkan untuk kemudian hara terangkut oleh air limpasan permukaan.
Disamping itu, menurut Wani Hadi Utomo (1989) bahwa sampai saat ini tanah masih diperlakukan sebagai objek saja, yang masih sebatas bagaimana mendapatkan hasil yang setinggi-tingginya dari usaha yang dilakukan, tanpa memikirkan apa akibat dari tindakan tersebut. Memang akhir-akhir ini telah tercetus “pertanian konservasi” atau pertanian yang berkelanjutan, tetapi masih jauh dari pelaksanaannya. Karena, prioritas jangka pendek lebih diutamakan untuk bagaimana caranya mendapatkan produksi maksimum, sedangkan usaha konservasinya pada urutan terakhir.
Padahal, seperti yang dikemukakan G. Kartasapoetra, A.G. Kartasapoetra, Mul Mulyani Sutedjo (2000), bahwa kunci penting dari pengelolaan tanah ditempat mana saja adalah bagaimana menjaga atau memelihara sebaik-baiknya lapisan tanah-atas (top soil layer) yang tebalnya tidak lebih dari satu jengkal (kurang lebih 35 sentimeter) agar tetap dalam keadaan baik serta tidak terangkut ke lain tempat. Jadi pengertiannya adalah mencakup semua tindakan yang bertujuan melindungi atau mengawetkan tanah agar kesuburannya bertahan dalam jangka panjang.
Untuk mencapai pembangunan pertanian berkelanjutan, maka dalam memilih teknologi  konservasi tanah dan air untuk diterapkan oleh petani di lahan pertaniannya, perlu diperhatikan beberapa hal yaitu teknologinya harus sesuai untuk petani, dapat diterima dan dikembangkan sesuai sumberdaya (pengetahuan) lokal.  Kegagalan penerapan teknologi konservasi tanah selama ini karena pembuat kebijakan bertindak hanya berdasarkan pikiran sendiri tanpa memahami keinginan ataupun kemampuan petani.  Dengan kata lain dalam pembangunan pertanian berkelanjutan perlu ada bottom up planning.  Pemilihan teknologi dengan melibatkan pendapat petani adalah salah satu cara untuk mencapai pertanian berkelanjutan.
B.     Perladangan Berpindah (shifting cultivatiion)
Pada wilayah tanah hutan, ada suatu area yang dibersihkan dan ditanami setiap tahun untuk pertanian perladangan. Sistem pertanian ini dapat didefinisikan secara sangat umum  sebagai suatu sistem pertanian yang menerapkan konservasi secara langsung, sehingga dapat dikatakan sebagai sistem pertanian berkelanjutan di mana penebasan dilakukan secara tidak menetap, atau hanya sementara dan ditanami dengan tanaman untuk beberapa tahun saja, kemudian tanah hutan itu ditinggalkan untuk pemberaan lahan yang cukup lama.
Namun, menurut Lahajir (2001), sistem perladangan ini masih sangat sulit ditemukan dalam penelitian dalam hal: soal-soal mengenai tipe penggunaan tanah perladangan, batas-batas kritis tanah yang luar biasa dan relasi-relasi yang bermakna di antara waktu, tempat, teknik dan ekologi lokal. Metode yang beraneka ragam dan konsekuensi-konsekuensi perladangan ini bagi manusia, tumbuhan, dan tanah tampaknya baru-baru ini mulai dipahami oleh para peneliti perladangan di dunia.
Dalam perladangan, secara teknologi dapat dilihat dari cara-cara dalam mana lingkungan secara artifisial dimodifikasi dan mencakup perawatan tanaman, tanah, hama, dan lain-lain, yang berhubungan sangat kompleks. Pembedaan  yang bersifat sementara menunjuk pada lamanya fase suksesif perladangan, seperti (1) pemilihan (selecting), (2) penebasan (cutting), (3) pembakaran (burning), (4) penanaman (cropping), dan (5) pemberaan (fallowing). Fase 1 sampai 2 merupakan pembersihan vegetasi-vegetasi tua yang tidak relevan bagi keperluan pengolahan ladang, sedangkan dua fase terakhir merupakan kontrol terhadap vegetasi-vegetasi baru (baru ditanam atau tumbuh/bertunas). Di sini, terlihat fase 4 dan 5 menujukkan bahwa keadaan lingkungan yang telah ada, lamanya yang relatif tentang periode-periode penanaman bisa berubah-ubah dari pada fase pembersihan sebelumnya (fase 1 sampai 3). Selanjutnya, periode terlama yang proporsional adalah sebagai representasi dari pemberaan.
Perladangan  berpindah ini juga merupakan sistem pertanian yang terintegrasi dan berkesinambungan dalam ruang dan waktu. Sistem perladangan ini dilakukakan secar berpindah-pindah sebagai ciri utama kearifan ekologi, dari lokasi lahan ladang yang satu ke lokasi lahan ladang berikutnya guna mengistirahatkan (fallow) hutan tanah lahan perladangan yang telah diolah beberapa kali dalam siklus tahun ladang untuk jangka waktu bera yang ideal, yaitu sekitar 10 – 15  tahun sebelum digunakan kembali pada rotasi berikutnya. Di sini jelas terlihat bahwa waktu bera sangat berpengaruh besar pada kesuburan tanah dan tingkat produksi yang dihasilkan. Lahajir (2001) mengklasifikasikan hutan sekunder berdasarkan masa bera seperti berikut ini, yakni: (1) hutan sekunder tua dengan masa bera 10 -15 tahun, (2) hutan sekunder muda dengan masa bera 10 – 5 tahun, dan (3) hutan sekunder termuda dengan masa bera kurang dari 5 tahun.
B.1 Bentuk Pertanian Konservasi
Sistem perladangan berpindah bagi sebagian ahli dianggap sebagai pemborosan dari sumberdaya alam, atau sangat primitif (FAO Staff 1957), dan dikenal secara relatif mempunyai ouput yang rendah per unit areanya. Hal ini kalau ditinjau dari segi ekonomi, tetapi mungkin karena perhatian terhadap sistem inilah yang masih sangat kurang, yang sebenarnya membutuhkan tindakan yang lebih spesifik untuk menjadi sistem yang dapat diterima, untuk menjadi alternatif sistem pertanian konservasi.
Perladangan berpindah tidak menyebabkan efek yang berbahaya terhadap lingkungan, bahkan mampu menyediakan alternatif yang aman dibandingkan dengan sistem pertanian lainnya di hutan tropis basah. Adapun kurangnya peningkatan produktivitas adalah merupakan konsekuensi dari pengabaian dari sistem ini di dalam kebanyakan penelitian pertanian. Hal ini bisa dilihat dari hasil penelitian Lahajir, yang menemukan bahwa hasil perladangan berpindah tidak sanggup lagi mencukupi kebutuhan subsisten mereka.
Dalam konteks pembahasan di sini, perladangan berpindah sebagai sistem pertanian yang menggunakan pemberaan sebagai hal yang utama dalam menjaga produktivitas. Sistem perladangan dikerjakan hanya 1 – 2 tahun dalam penanaman yang kemudian dilanjutkan dengan periode bera yang panjang.
Erosi sudah lama disadari sebagai masalah utama dalam perladangan berpindah, tetapi sangat sedikit studi kuantitatif yang ada tentang erosi dari perladangan berpindah, sehingga masih begitu terbatas. Dari studi yang pernah dilakukan menunjukkan pembersihan lahan pada perladangan berpindah secara tradisional lebih rendah jumlah erosi dan kehilangan sedimin dari sistem dibandingkan pada beberapa bentuk pembersihan lahan (land clearing) dan sistem pengolahan tanah (tillage). Alasan  rendahnya erosi adalah sangat pendiknya periode terbukanya tanah (setelah pembakaran, sebelum tanaman mantap), tanpa atau sedikit pengolahan tanah (tillage), dan dengan membentangkan pohon-pohon yang tidak terbakar secara horisontal terhadap kemiringan (slope). Dengan sedikit sedimin yang hilang dari sistem dan pemakaian bahan kimia yang terbatas sekali, maka sumberdaya air tidak terpengaruh secara serius.
Selama penanam, nutrient kehilangan utamanya akibat pembakaran dan beberapa dari pencucian (leaching), tetapi hanya jumlah terbatas yang dipindahkan oleh tanaman sebagai sisa tanaman yang tertinggal di lapangan dan pertumbuhan kembali pada masa bera dapat menahan kembali nutrient.
Peningkatan penyimpanan karbon dalam jangka panjang, kalau bisa sampai 20 – 50 tahun di dalam tanah, tanaman dan produksi tanaman mempunyai efek menguntungkan terhadap lingkungan dan pertanian. Lahan tanaman budidaya, padang gembalaan dan hutan dapat dikelola baik untuk aspek produksi maupun penyimpanan karbon. Kedua pendekatan pengelolaan lahan tersebut dapat dicapai dengan penerapan pengelolaan lahan yang sudah banyak dikenal seperti pengolahan tanah konservasi, pengelolaan unsur hara yang efisien, pengontrolan erosi, penggunaan tanaman penutup tanah, dan restorasi lahan-lahan terdegradasi.
Konservasi lahan melalui pemberaan (fallow) yang panjang dapat dengan cepat meningkatkan penyimpanan karbon dalam tanah. Peningkatan bahan organik tanah secara global dalam jangka waktu yang lama akan mampu memberikan efek yang menguntungkan terhadap penurunan rata-rata peningkatan CO2 atmosfer dan peningkatan produktivitas tanah, khususnya dalam banyak areal tanah yang telah terdegradasi.
Pengolahan tanah merupakan kebudayaan yang tertua dalam pertanian dan tetap diperlukan dalam pertanian modern.  Menurut Arsjad (1989), yang mendefinisikan pengolahan tanah sebagai setiap manipulasi mekanik terhadap tanah yang diperlukan untuk menciptakan keadaan tanah yang baik bagi pertumbuhan tanaman.  Tujuan pengolahan tanah adalah untuk menyiapkan tempat pesemaian, tempat bertanam, menciptakan daerah perakaran yang baik, membenamkan sisa tanaman, dan memberantas gulma.  Cara pengolahan tanah sangat mempengaruhi struktur tanah alami yang baik yang terbentuk karena penetrasi akar, apabila pengolahan tanah terlalu intensif maka struktur tanah akan rusak.  Kebiasaan petani yang mengolah tanah secara berlebihan dimana tanah diolah sampai bersih permukaannya merupakan salah satu contoh pengolahan yang keliru karena kondisi seperti ini mengakibatkan butir tanah terdispersi oleh butir hujan, menyumbat pori-pori tanah.   Untuk mengatasi pengaruh buruk pengolahan tanah, maka dianjurkan beberapa cara pengolahan tanah konservasi yang dapat memperkecil terjadinya erosi.  Cara perladangan berpindah dengan :
  1. Tanpa olah tanah (TOT), tanah yang akan ditanami tidak diolah dan sisa-sisa tanaman sebelumnya dibiarkan tersebar di permukaan, yang akan melindungi tanah dari ancaman erosi selama masa yang sangat rawan yaitu pada saat pertumbuhan awal tanaman.  Penanaman dilakukan dengan tugal
  2. Pengolahan tanah minimal, tidak semua permukaan tanah diolah, hanya barisan tanaman saja yang diolah dan sebagian sisa-sisa tanaman dibiarkan pada permukaan tanah
  3. Pengolahan tanah menurut kontur, pengolahan tanah dilakukan memotong lereng sehingga terbentuk jalur-jalur tumpukan tanah atau dengan melintangkan pohon yang tidak terbakar (logs) dan alur yang menurut kontur atau melintang lereng.  Pengolahan tanah menurut kontur akan lebih efektif jika diikuti dengan penanaman menurut kontur juga yang memungkinkan penyerapan air dan menghindarkan pengangkutan tanah.
Dari sistem perladangan berpindah, cara pengolahan tanah sudah diterapkan, sehingga dapat menggunakan sesuai dengan keperluan dan kemampuannya. Penyesuaian dengan ekologi setempat inilah yang menjadikan sistem perladangan berpindah dapat dikatakan sebagai sistem pertanian konservasi. Sistem ini memang perlu lebih ditingkatkan, atau diberikan sentuhan ilmu pengetahuan yang juga disesuaikan.
Berdasarkan penggunaan teknik tradisional, perladangan berpindah sangat sesuai dengan lingkungan dan dapat lebih berkelanjutan dari sistem pertanian permanen dalam kondisi tropis basah. Kebanyakan studi tentang perladangan berpindah telah memfokuskan pada efek terhadap praktek manajemen dan sangat sedikit penelitian yang telah dilakukan untuk peningkatan  secara agronomi terhadap produksi tanaman di dalam sistem, karena sistem tersebut sudah melekat sebagai primitif dan anti pembangunan. Masalah lainnya, adalah bahwa perladangan berpindah lebih sering dibandingkan dengan kegiatan kehutanan (seperti agroforentry yang hampir sama dengan shifting cultivation) atau bahkan sumberdaya hutan daripada dengan sistem pertanian lainnya. Hal ini sangat tidak realistis  untuk mengharapkan perladangan berpindah menjadi sama tidak berbahaya seperti hutan alami. Ini adalah sistem pertanian, yang dibuat dengan menggunakan hutan dan harus disadari seperti itu.
B.2 Langkah-langkah  penanggulangan
Mengatasi berbagai dampak yang dikemukakan, maka berikut direkomendasikan beberapa langkah pengendalian, yaitu : (1).  Harus ada  kemauan pemerintah baik pusat maupun daerah untuk menangani permasalahan laju perladangan berpindah terlebih dahulu, agar dapat disusun perencanaan yang tepat dan terarah dalam rangka penanggulangannya. Karena apapun juga pemerintah telah diperhadapkan dengan realitas kondisi bahwa perladangan berpindah memiliki korelasi kuat dengan kerusakan ekosistem. (2). Diperlukan regulasi berupa  peraturan daerah yang dapat mengatur  tentang pelaksanaan dan pengendalian laju peningkatan praktek perladangan. Hal ini sangat penting agar para peladang dapat memahami secara jelas tentang batasan-batasan  dan prosedur praktek perladangan yang menjamin kelestarian ekosistem. Selanjutnya sebagai konsekuensi dari adanya peraturan daerah berarti akan diatur pula sanksi-sanksi terhadap pelanggaran-pelanggaran yang mungkin terjadi sehingga praktek perladangan dapat dilakukan secara terkontrol, (3). Pengembangan model agroforestry. Menurut teori bahwa perladangan berpindah hanya dapat diatasi dengan 3 model  utama, yaitu pengalihan profesi peladang, pengembangan model pertanian menetap dan  model agroforestry.  Berdasarkan ke 3 model ini, bila dikaji lebih jauh ternyata bahwa model pengalihan profesi tidak  berhasil karena persoalan  budaya.  Aktivitas berladang telah dianggap sebagai budaya yang diwariskan nenek moyang mereka.  Selain itu pertanian menetap juga sulit untuk diterapkan karena membutuhkan modal (input) yang besar bagi penerapannya.  Sementara itu model agroforestry nampaknya mudah dan sederhana untuk diaplikasi karena membutuhkan hanya sedikit modal, tetapi hutan yang akan terbentuk nanti selama masa bera adalah hutan yang  nanti memiliki nilai ekonomi dan konservasi yang tinggi. (4). Diperlukan peningkatan kapasitas sumberdaya manusia untuk mendukung aplikasi ke 3 model utama pengendalian perladangan diatas. Untuk itu pendidikan, training dan latihan bagi peladang untuk peningkatan pengetahuan dan ketrampilan sangat dibutuhkan bagi kerberhasilan pelaksanaan dari model yang ditawarkan nanti.
Perladangan berpindah dalam realitas telah menyebabkan kerusakan ekosistem hutan secara serius.  Hal ini berdasarkan kondisi di lapangan  bahwa  wilayah-wilayah hutan yang sebelumnya berada disekitar desa, saat ini  letaknya sudah mencapai radius lebih  7 Km.  Bahkan pada pulau-pulau kecil tertentu, sudah tidak dijumpai hutan. Kebanyakan hutan hanya dijumpai dalam bentuk spot-spot hutan sekunder. Karena itu pemerintah pusat maupun daerah sudah seharusnya mulai mengambil langkah-langkah pengendalian, agar generasi ini tidak mewarisi lahan yang tandus bagi generasi akan datang.

C.    Biomasa
Telah sejak lama, kita mendengar bahwa persediaan bahan bakar minyak di Bumi ini mulai menipis. Ada banyak perkiraan oleh pakar bahwa tahun sekian pasokan bahan bakar minyak akan benar-benar habis. Sementara untuk memperbarui minyak yang terkandung di Bumi, juga bukan hal mudah dan instan. Sehingga, mau tidak mau, manusia dipaksa untuk terus menemukan energi alternatif sebagai pengganti dari bahan bakar minyak. Salah satu energi alternatif yang dapat dikembangkan adalah energi biomassa.
Biomassa adalah tumbuhan atau bagian-bagiannya yaitu bunga, biji, buah, daun, ranting, batang, dan akar, termasuk tanaman yang dihasilkan oleh kegiatan pertanian, perkebunan, dan hutan tanaman ( PP no 150 tahun 2000 ).
Ada beberapa keunggulan biomassa jika digunakan sebagai sumber energi.
1.      Mengurangi adanya gas rumah kaca
Gas rumah kaca terdiri dari karbon dioksida (CO2), metana, nitrogen oksida, dan beberapa gas lainya yang terperangkap dalam atmosfer. Menurut data UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) konsentrasi global karbon dioksida dan beberapa gas rumah kaca lainnya terus mengalami peningkatan. Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca ini menyebabkan peningkatan temperatur sehingga suhu udara atmosfer menjadi lebih panas. Tanaman atau biomassa akan mengurangi konsentrasi karbon dioksida dari atmosfer melalui proses fotosintesis. Karbon dioksida (CO2) diserap tumbuhan untuk tumbuh dan berkembang. Ketika biomassa dibakar, karbon (C) akan diubah ke dalam bentuk karbon dioksida dan kembali ke atmosfer.
Bila proses ini berlangsung secara terus menerus, maka jumlah konsentrasi karbon dioksida di atmosfer akan selalu seimbang. Tetapi bila konsumsi energi fosil meningkat maka konsentrasi karbon dioksida akan meningkat. Sehingga penambahan biomassa dibutuhkan untuk menyeimbangkan kembali jumlah karbon dioksida yang diserap dan dilepaskan. Saat ini, kenyataannya terdapat peningkatan konsumsi jumlah energi fosil seperti gas dan minyak tidak diimbangi dengan peningkatan jumlah biomassa. Sehingga yang terjadi adalah deforestation atau penggundulan hutan, pembalakan dan sebagainya. Hal tersebut makin meningkatkan konsentrasi karbon dioksida. Maka dari itu, penggunaan biomassa sebagai pengganti bahan bakar dapat mengurangi konsentrasi karbon dioksida.
2.      Mengurangi limbah organik
Sampah organik seperti sampah pertanian (jerami, tongkol), limbah pengolahan biodiesel (cangkang biji jarak pagar, cangkang sawit), sampah kota, limbah kayu, ranting, dan pengolahan kayu (sawdust) merupakan limbah yang keberadaanya kurang bermanfaat. Limbah tersebut bila dibiarkan atau dibuang tanpa dibakar terlebih dahulu, dapat melepaskan gas metana yang berbahaya. Hasil pembakaran limbah merupakan abu yang memiliki volum 1% bila dibandingkan dengan limbah padat. Untuk meningkatkan nilai kalor dan mengurangi emisi limbah organik biasanya dilakukan proses karbonisasi. Selain itu pembentukan menjadi briket bermanfaat sebagai bahan bakar padat.
3.      Melindungi kebersihan air dan tanah
Penggunaan pupuk ternak dapat menimbulkan dampak buruk terhadap kebersihan air dan tanah. Mikroorgranisme seperti salmonella, brucella, dan coli di dalam pupuk menyebabkan penularan kepada manusia dan binatang. Salah satu proses pengolahan sampah ini adalah proses anaerobic digestion, yaitu dengan penimbunan pupuk kandang ataupun biomassa lainnya dalam suatu digester. Anaerobic digestion akan menghasilkan metana (CH4) dan slurry yang telah terbebas oleh mikroorgranisme.
4.      Mengurangi polusi udara
Limbah pertanian, biasanya langsung dibakar setelah masa panen. Hal ini akan menyebabkan partikel-partikel atau jelaga dan polusi udara. Limbah ini dapat dikonversikan menjadi bahan bakar yang lebih bermanfaat sehingga mengurangi jelaga dan polusi udara. Selain limbah pertanian, pembakaran hutan sering terjadi dimana-mana. Efek pembakaran ini dapat menimbulkan polusi asap yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Pembakaran biomassa di dalam ruang bakar menggunakan boiler mengurangi efek polusi asap karena pembakaran dalam industri menggunakan peralatan kendali polusi untuk mengendalikan asap, sehingga lebih efisien dan bersih daripada pembakaran langsung.
5.      Mengurangi hujan asam dan kabut asap
Hujan asam merupakan fenomena yang disebabkan oleh asam sulfur dan asam nitrit. Asam-asam ini terbentuk melalui reaksi antara air, oksigen, sulfur dioksida, dan nitrogen oksida. Zat reaktan terebut berasal dari emisi pembakaran yang kurang sempurna dari bahan bakar fosil. Asam yang terbentuk jatuh ke bumi dalam bentuk hujan asam, kabut, dan salju. Akibat hujan asam ini meningkatkan keasaman danau dan sungai, sehingga akan sangat berbahaya bagi makhluk hidup. Hujan asam juga merusak bahan bangunan dan cat.
Melalui pembakaran biomassa efek hujan asam ini akan direduksi, karena pembakaran biomassa akan menghasilkan partikel emisi SO2 dan NOx yang lebih sedikit dibandingkan dengan pembakaran bahan bakar fosil. Pembakaran biomasa lebih efisien dan sempurna bila diproses melalui karbonisasi karena akan menghasilkan bahan bakar yang terbebas dari volatile matter atau gas mudah terbakar. Untuk mencegah dampak buruk bagi lingkungan dapat dilakukan dengan mengurangi atau menghentikan proses yang merupakan penyumbang gas rumah kaca, yaitu pembakaran bahan bakar fosil. Pembakaran bahan bakar berkaitan erat dengan pemenuhan sektor energi bagi peningkatan perekonomian suatu negara. Pengembangan biomasa sebagai sumber energi untuk substitusi bahan bakar bisa menjadi solusi untuk mengurangi beredarnya gas rumah kaca di atmosfer. Dengan penggunaan biomassa sebagai sumber energi maka konsentrasi CO2 dalam atmosfer akan seimbang.
Selain keuntungan dari  Biomassa,adapun  kekurangan yang di miliki,diantaranya:
Masalah lingkungan sebenarnya memiliki solusi yang berasal dari lingkungan juga. Problem gas rumah kaca dan krisis energi misalnya, bisa dijawab dengan biomassa yang asalmulanya dari alam. Bagaimana bisa?
Gas rumah kaca yang disebabkan oleh bahan bakar fosil, seperti karbon dioksida ketika dilepaskan di atmosfir, keberadaannya akan menghalangi panas yang akan meninggalkan bumi sehingga akan meningkatkan temperature bumi. Bila hal ini terjadi maka maka akan terjadi perubahan iklim yang akan mempengaruhi kualitas kehidupan di lingkungan kita. Selain disebabkan oleh CO2, gas berikut juga memiliki kontribusi dalam pemanasan global, methane (CH4) dan nitrous oksida (N2O). Pembakaran biomassa sebenarnya menghasilkan CO2 tetapi karbon dioksida yang di hasilkan akan distabilisasi dengan serap kembali oleh tumbuhan, sehingga tidak ada penimbuan karbon dioksida dalam atmosfer dan keberadaannya terus seimbang.
D.    Lahan Kritis 
             Lahan kritis adalah lahan yang tidak produktif. Meskipun dikelola, produktivitas lahan kritis sangat rendah. Bahkan, dapat terjadi jumlah produksi yang diterima jauh lebih sedikit daripada biaya pengelolaannya. Lahanini bersifat tandus, gundul, tidak dapat digunakan untuk usaha pertanian, karena tingkat kesuburannya sangat rendah.

             Faktor- Faktor yang menyebabkan terjadinya lahan kritis, antara lain sebagai berikut:
 Kekeringan, biasanya terjadi di daerah-daerah bayangan hujan.
 Genangan air yang terus-menerus, seperti di daerah pantai yang selalu tertutup rawa-rawa.
 Erosi tanah dan masswasting yang biasanya terjadi di daerah dataran tinggi, pegunungan, dan daerah yang miring. Masswasting adalah gerakan masa tanah menuruni lereng.
 Pengolahan lahan yang kurang memperhatikan aspek-aspek kelestarian lingkungan. Lahan kritis dapat terjadi di dataran tinggi, pegunungan, daerah yang miring, atau bahkan di dataran rendah.
 Masuknya material yang dapat bertahan lama kelahan pertanian (tak dapat diuraikan oleh bakteri) misalnya plastic. Plastik dapat bertahan ± 200 tahun di dalam tanah sehingga sangat mengganggu kelestaian kesuburan tanah.
 Pembekuan air,biasanya terjadi daerah kutub atau pegunungan yang sangat tinggi. 
Pencemaran, zat pencemar seperti pestisida dan limbah pabrik yang masuk ke lahan pertanian baik melalui aliran sungai maupun yang lain mengakibatkan lahan pertanian baik melalui aliran sungai maupun yang lain mengakibatkan lahan pertanian menjadi kritis.Beberapa jenis pestisida dapat bertahan beberapa tahun di dalam tanah sehingga sangat mengganggu kesuburan lahan pertanian.
             Jika lahan kritis dibiarkan dan tidak ada perlakuan perbaikan, maka keadaan itu akan membahayakan kehidupan manusia, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Maka dari itu, lahan kritis harus segera diperbaiki. Untuk menghindari bahaya yang ditimbulkan oleh adanya lahan kritis tersebut, pemerintah Indonesia telah mengambil kebijakan, yaitu melakukan rehabilitasi dan konservasi lahan-lahan kritis di Indonesia.


            
             Upaya penagggulangan lahan kritis dilaksanakan sebagai berikut.
1. Lahan tanah dimanfaatkan seoptimal mungkin bagi pertanian, perkebunan, peternakan, dan usaha lainnya.
2. Erosi tanah perlu dicegah melalui pembuatan teras-teras pada lereng bukit.
3. Usaha perluasan penghijauan tanah milik dan reboisasi lahan hutan.
4. Perlu reklamasi lahan bekas pertambangan.
5. Perlu adanya usaha ke arah Program kali bersih (Prokasih).
6. Pengolahan wilayah terpadu di wilayah lautan dan daerah aliran sungai (DAS).
7. Pengembangan keanekaragaman hayati.
8. Perlu tindakan tegas bagi siapa saja yang merusak lahan yang mengarah pada terjadinya lahan kritis.
9. Menghilangkan unsure-unsur yang dapat mengganggu kesuburan lahan pertanian, misalnya plastik. Berkaitan dengan hal ini, proses daur ulang sangat diharapkan.
10. Pemupukan dengan pupuk organik atau alami, yaitu pupuk kandang atau pupuk hijau secara tepat dan terus-menerus.
11. Guna menggemburkan tanah sawah, perlu dikembangkan tumbuhan yang disebut Azola.
12. Memanfaatkan tumbuhan eceng gondok guna menurunkan zat pencemaran yang ada pada lahan pertanian. Eceng gondok dapat menyerap pat pencemar dan dapat dimanfaatkan untuk makanan ikan. Namun, dalam hal ini kita harus hati-hati karena eceng gondok sangat mudah berkembang sehingga dapat menggangu lahan pertanian.
Lahan kritis merupakan indikator utama dari degradasi lahan yang bisa terjadi di dalam hutan dan di luar hutan. Dalam prakteknya penetapan lahan kritis mengacu pada definisi lahan kritis yang ditetapkan sebagai lahan yang telah mengalami kerusakan sehingga kehilangan atau berkurang fungsinya sampai pada batas toleransi (Dephut, 2000). Kriteria lahan kritis adalah : (1) lahan kosong tidak produktif, (2) lapisan olah tanah (solum) kurang dari 30 cm, (3) lahan bekas penambangan yang tidak direklamasi, (4) lahan kosong dan kemiringan di atas 15 %, (5) lahan dengan penutupan vegetasi di bawah 25 %, (6) lahan kering yang tergenang lebih dari 6 bulan, (7) lahan yang telah mengalami erosi permukaan pada jarak kurang dari 20 meter, dan (8) lahan rawan bencana.
Sasaran lahan kritis adalah lahan-lahan dengan fungsi lahan yang ada kaitannya dengan kegiatan reboisasi dan penghijauan, yaitu fungsi kawasan hutan lindung, fungsi kawasan lindung di luar kawasan hutan dan fungsi kawasan budidaya untuk usaha pertanian.  Pada fungsi kawasan budidaya untuk usaha pertanian, kekritisan lahan dinilai  berdasakan produktivitas lahan yaitu rasio terhadap produksi komoditi umum opsional pada pengelolaan tradisional, kelerengan lahan, tingkat erosi yang diukur berdasarkan tingkat hilangnya lapisan tanah, baik untuk tanah dalam maupun untuk tanah dangkal, batu-batuan dan manajemen yaitu usaha penerapan teknologi konservasi tanah pada setiap unit lahan (Dariah, 2007).
Kondisi lahan kritis secara umum dapat diketahui dari kondisi lahan kritis per kapita. Meluasnya lahan kritis per kapita disebabkan oleh perubahan fungsi lahan dari pertanian menjadi kawasan non pertanian. Dariah (2007) melaporkan bahwa ternyata pertambangan dan penggalian memiliki tingkat signifikansi yang paling tinggi dalam peningkatan lahan kritis per kapita. Maraknya penggalian galian tipe C di kaki-kaki gunung, seperti di kaki Gunung Tampomas Kabupaten Sumedang tepatnya di Kecamatan Cimalaka, Paseh dan Conggeang, kaki Gunung  Ciremai Kabupaten Majalengka, kaki Gunung Masigit Kabupaten Bandung, Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon, Cipamingkis Kabupaten Bogor, Warungkondang di Kabupaten Cianjur dan Cimangkok di Kabupaten Sukabumi  merupakan bukti meluasnya lahan kritis per kapita.
Dalam prakteknya penetapan lahan kritis mengacu pada definisi lahan kritis yang ditetapkan sebagai lahan yang telah  mengalami kerusakan sehingga kehilangan atau berkurang fungsinya sampai pada batas toleransi (Dephut, 2000). Dengan demikian masalah lahan kritis masyarakat terjadi karena pola pemanfaatan yang tidak tepat yakni kurang memperhatikan daya dukung dan  kesesuaian lahan, yang disebabkan karena aspek ekonomi yakni kemiskinan dan kekurangpahaman terhadap teknik konservasi.
Degdarasi lahan berkaitan dengan degradasi tanah untuk memproduksi biomassa yang disebabkan oleh tindakan pengelolaan tanah yang semena-mena, penggunaan pupuk kima yang berlebihan, dan penggunaan pestisida dan herbisida yang terus-menerus dengan dosis yang melebihi takaran. Siradz (2006) melaporkan bahwa parameter ketebalan solum, kebatuan pada permukaan, populasi mikrobia, dan potensial redoks pada lokasi persawahan di Yogyakarta masih memenuhi baku mutu. Namun meskipun memenuhi baku mutu, parameter pH dan haya hantar listrik mengalami kenaikan yang signifikan bila dibandingkan dengan lahan non sawah. Sebaliknya parameter berat isi, porositas, dan permeabelitas telah berada di atas ambang kritis.
Lahan yang kritis akan berdampak pada menurunnya produktivitas lahan sehingga perolehan output akan rendah. Lahan kritis dapat terjadi karena praktik ladang berpindah ataupun karena eksploitasi penambangan yang besar-besaran. Kemiskinan dan ketimpangan pendapatan pun berhubungan positif dengan lahan kritis per kapita, bahwa memburuknya kondisi sosial ekonomi akan berdampak pada meningkatnya lahan kritis per kapita. Dariah (2007) melaporkan bahwa lahan kritis per kapita lebih ditentukan oleh kemiskinan dan ketimpangan pendapatan karena tekanan jumlah penduduk dan pengangguran. Upaya rehabilitasi lahan kritis sebaiknya menjadi agenda prioritas dengan sasaran memperbaiki kondisi lahan, meningkatkan produktivitas lahan dan meningkatkan pendapatan masyarakat melalui penanaman tanaman yang cocok dengan karakteristik lahan dan memiliki nilai ekonomi tinggi. Oleh karena itu upaya pemulihan lahan kritis seyogianya diarahkan untuk memperbaiki kondisi lahan dan meningkatkan produktivitas lahan serta  meningkatkan pendapatan masyarakat. Implementasi rehabilitasi lahan kritis sebaiknya diikuti oleh pembangunan ekonomi perdesaan yang mengarah pada diversifikasi dan nilai tambah produk pertanian sehingga tercipta lapangan kerja diluar sektor pertanian di perdesaan.
Sementara itu kerusakan hutan pada umumnya terjadi karena ulah manusia, antara lain, karena penebangan pohon secara besar-besaran, kebakaran hutan, dan praktik peladangan berpindah. Kerusakan hutan disebabkan oleh perorangan, kelompok masyarakat, ataupun oleh korporasi.  Pengusahaan hutan oleh korporasi dalam bentuk Hak Penguasaan Hutan (HPH) dan Hutan Tanaman Industri. Kebijakan HTI yang diberikan oleh pemerintah melegitimasi dan mendorong kerusakan hutan alam yang lebih masif. Tidak adanya institusi penatagunaan hutan yang baik, yang disebabkan lemahnya kebijakan penggunaan lahan nasional dan aspek-aspek politik ekonomi, telah menyebabkan pelaksanaan pembangunan HTI dan perkebunan telah secara nyata menimbulkan masalah sosial yang berkaitan dengan penggunaan lahan. Salah satu aspek politik ekonomi yang mendorong degradasi hutan alam adalah adanya kenyataan diversifikasi usaha HPH berupa usaha HTI dan perkebunan, sehingga ketika HPH menyisakan hutan yang rusak, maka HTI dan/atau perkebunan mendapat legalitas untuk menempati lokasi hutan yang rusak (Kartodiharjo dan Supriono, 2000). Kerugian yang ditimbulkan dari kerusakan hutan, misalnya punahnya habitat hewan dan tumbuhan, keringnya mata air, serta dapat menimbulkan bahaya banjir dan tanah longsor.

E.     Krisis Air
Dalam siklus hidrologi skala DAS terdapat unsur gudang-gudang air (water storage) yang saling terkait melalui proses presipitasi, evaporasi, evapotranspirasi, infiltrasi dan perkolasi. Gudang-gudang tersebut adalah gudang air di atmosfer, gudang air di hutan, gudang air di sungai dan danau, gudang air di lapisan tanah dangkal dan di lapisan tanah dalam, serta gudang air di lautan.
Bila salah satu gudang air ini terganggu, maka keseimbangan siklus hidrologinya pun akan terganggu pula. Katakanlah bila hutan di puncak gunung dan bukit digunduli, muncul bencana banjir, longsor dan kekeringan yang silih berganti sepanjang tahun. Terdapat dua hipotesa yang kontroversi, di satu pihak mengatakan keberadaan hutan akan meningkatkan hasil air di DAS, di lain pihak mengatakan bahwa keberadaan hutan akan mengonsumsi air di DAS.
Seorang ahli hidrologi, Hidayat Pawitan (2004), mengatakan bahwa kontroversi hipotesis tersebut akibat 4M, yaitu: mis-information, miss-interpretation, miss-understanding, dan myth (mitos) tentang hubungan antara hutan dan air. Hidayat Pawitan (2004) berhasil menghimpun penjelasan-penjelasan bahwa setidaknya ada enam aspek pengaruh hutan terhadap hidrologi wilayah, yaitu: hutan meningkatkan curah hujan, hutan meningkatkan aliran sungai, hutan mengatur fluktuasi aliran sungai dan meningkatkan aliran rendah musim kemarau, hutan mengurangi erosi, hutan mengurangi banjir, hutan meningkatkan mutu pasokan air.
F.     Kearifan Lokal
Bagi Indonesia, sumberdaya dan keanekaragaman hayati sangat penting dan strategis artinya bagi keberlangsungan kehidupannya sebagai "bangsa". Hal ini bukan semata-mata karena posisinya sebagai salah satu negara terkaya di dunia dalam keanekaragaman hayati (mega-biodiversity), tetapi justru karena keterkaitannya yang erat dengan kekayaan keanekaragaman budaya lokal yang dimiliki bangsa ini (mega-cultural diversity). Para pendiri negara-bangsa (nation-state) Indonesia sejak semula sudah menyadari bahwa negara ini adalah negara kepulauan yang majemuk sistem politik, sistem hukum dan sosial-budayanya. Semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" secara filosofis menunjukkan penghormatan bangsa Indonesia atas kemajemukan atau keberagaman sistem sosial yang dimilikinya.
Ketergantungan dan tidak-terpisahan antara pengelolaan sumberdaya dan keanekaragaman hayati ini dengan sistem-sistem sosial lokal yang hidup di tengah masyarakat bisa secara gamblang dilihat dalam kehidupan sehari-hari di daerah pedesaan, baik dalam komunitas-komunitas masyarakat adat yang saat ini populasinya diperkirakan antara 50 – 70 juta orang, maupun dalam komunitas-komunitas lokal lainnya yang masih menerapkan sebagian dari sistem sosial berlandaskan pengetahuan dan cara-cara kehidupan tradisional. Yang dimaksudkan dengan masyarakat adat di sini adalah mereka yang secara tradisional tergantung dan memiliki ikatan sosio-kultural dan religius yang erat dengan lingkungan lokalnya. Batasan ini mengacu pada "Pandangan Dasar dari Kongres I Masyarakat Adat Nusantara" tahun 1999 yang menyatakan bahwa masyarakat adat adalah komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul secara turun-temurun di atas satu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakat.
Salah satu contoh kearifan local yang terus di pertahankan keberadaannya yakni;
Kearifan local masyarakat adat negeri Haruku Kabupaten Maluku Tengah mengelola lingkungan hidup termasuk hutan dengan pendekatan adat istiadat masyarakat negeri kami, yang kami warisi dari leluhur kami sejak ratusan tahun lalu. Sebagaimana masyarakat adat lainnya di Nusantara ini, pengetahuan dan pengalaman dalam pengelolaan sumberdaya alam yang merupakan suatu kearifan lokal diwariskan secara turun temurun sebelum masyarakat itu bersentuhan dengan modernisasi itu sendiri. Kearifan yang ada saat ini bukan tumbuh karena dipaksa atau dikondisikan, namun lebih didasarkan pada proses membangun menyepakati nilai-nilai yang dapat dijadikan tolak ukur oleh para leluhur kami, nilai itulah yang berkembang menjadi filosofi hidup masyarakat adat.












BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari semua hasil yang telah di buat maka penulis dapat menarik kesimpulan yakni hutan merupakan anugerah Tuhan yang harus kita jaga untuk keberlangsungan kehidupan kita sekarang dan masa yang akan dating.dimana hutan memberikan kontribusi yang sangat besar dalam kehidupan.Kerusakan hutan yang timbul tidak lain hanya di sebabkan oleh manusia yang akan berpengaruh terhadap kesuburan tanah,fungsi hidrologi,rusaknya habitat flora dan fauna  dll..
B.     Saran
Kita sebagai seorang rimbawan dan rimbawati hendaknya kita saling menjaga dan melindungi hutan agar tetap lestari demi tercapainya kehidupan yang lestari.















DAFTAR PUSTAKA

Peraturan pemerintah no 150 tahun 2000
























Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman